TRIBUNNEWS.COM -- SEJUMLAH perempuan duduk berkelompok dan mengelilingi beberapa meja. Masing-masing orang memegang pisau yang seluruhnya terbuat dari tembaga. Mereka tampak sigap menghadapi rajungan (jenis kepiting laut) yang bertumpuk di atas meja.
Para perempuan itu sedang memisahkan dari kulitnya. Tangan mereka bergerak lincah untuk mengupas kulit rajungan tanpa merusak keutuhan daging hewan bernama latin portunus pelagicus itu. Sesekali mereka memukulkan gagang pisau untuk menghancurkan kulit ranjungan.
Bahkan ada yang memisahkan daging dari kulit ranjungan yang keras menggunakan sebatang korek api. Ujungnya terlebih dahulu. Sri (19), satu di antara perempuan itu, mempraktikkan teknik ini. Biasanya mereka mengumpulkan 12 kilogram daging rajungan. Satu kilogram rajungan rata-rata berasal dari tiga kilogram ranjungan utuh.
Seorang perempuan itu minimal mengupas 15 kilogram rajungan selama bekerja pukul 07.00 hingga 16.00. Hasil Sri dan kawan-kawannya di sebuah ruangan proses pemisahan daging rajungan di Desa Gebang Mekar, Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon selanjutnya disalurkan ke perusahaan pengekspor rjungan.
Setidaknya, ada enam lokasi usaha yang sama di yang berada di pinggir pantai itu. Semua, proses pemisahan daging rajungan dilakukan oleh perempuan. Tak ada alasan tertentu. Kondisi ini justru menguntungkan mereka yang sebagian besar berasal dari keluarga nelayan dengan pendidikan tertinggi tamatan sekolah menengah pertama.
Penghasilan mereka dihitung sesuai dengan hasil kupasan ranjungan. Satu kilogram daging ranjungan yang mereka kumpulkan dihargai Rp 7.000. Jika per orang mampu menghasilkan tiga daging ranjungan, maka Sri dan rekan-rekannya membawa pulang Rp 42.000 sehari. Namun, tentu saja, itu bukan penghasilan tetap.
"Itu kalau kiriman rajungan banyak. Saat kiriman sedikit, kami kupas sedikit juga," kata Sri kepada Tribun di sebuah pabrik pengolahan daging di rajungan Desa Gebangmekar.
Pekerja lainnya, Heni (30), mengatakan hal serupa. Menurutnya, penghasilan sebagai pengupas daging rajungan tidak menentu.
Heni menjadi pengupas daging rajungan sejak lulus SMP pada 1998. Dia menjadi pengupas rajungan, selain untuk mendapat uang guna menutup kebutuhan sehari-hari juga untuk menyekolahkan dua dari tiga anaknya.
Rukiman (43), pengangkut rajungan dari pabrik-pabrik di Gebang Mekar ke eksportir, mengatakan ekspor rajungan membantu menyerap tenaga kerja perempuan di desanya. "Ada pengupas daging rajungan di Desa Gebang Mekar," ujar Rukiman.
Menurut Rukiman, musim hujan merupakan masa panen rajungan. Para nelayan bisa mengirim hingga satu ton rajungan ke tiap tempat pengupasan rajungan. Jumlah itu dua kali lipat lebih besar dibanding jumlah kiriman rajungan selama musim kemarau. Maka setiap datang musim hujan, Sri dan Heni serta kawan-kawannya bersiap untuk mendulang banyak upah.
http://id.berita.yahoo.com/mendulang-keuntungan-setiap-musim-hujan-081817185--finance.html
analisa :
kesempatan kerja bisa kita ciptakan sendiri,sama halnya seperti cerita diatas kesempatan kerja yang dihasilkan oleh SDA negeri Indonesia yang kaya.rajungan yang mampu menyerap tenaga kerja apalagi dimusim hujan yang sekarang sedang terjadi diIndonesia semakin banyak penghasilan yang mereka dapat.karena terbatasnya kemampuan pendidikan mereka tak ada pilihan lain selain menjadi pengupas kulit rajungan ,andai saja setiap orang pandai menangkap peluang seperti mereka.pekerjaan yang terlihat sederhana tapi mampu mendongkrak ekspor bangsa.bangsa ini harus lebih peduli dengan adanya orang-orang kecil seperti mereka.
0 komentar:
Posting Komentar