Wakil Presiden Boediono telah memberikan penekanan kepada
kesejahteraan tenaga kerja sebagai prioritas utama. Sebuah pendirian kebijakan
yang disampaikan di hadapan seminar Indonesia Investment Summit (Jakarta Post,
7/11/2012).
Pernyataan itu wajar saja, mengingat para undangan lebih banyak investor. Mereka pengguna pasar kerja formal. Penekanan kebijakan ini sebagai konsekuensi logis tuntutan buruh. Secara empiris buruh yang ikut anggota perserikatan relatif memiliki kesejahteraan lebih tinggi dari yang bukan anggota. Namun, yang disanksikan adalah kualitas dari tuntutan buruh yang mengarah pada ketidakstabilan proses kerja industri.
Struktur pasar kerja Indonesia memperlihatkan 40 persen tenaga kerja terikat dengan upah. Sisanya pekerja di luar sektor upahan, berupa self employed dan unpaid family worker. Kelompok pekerja tersebut tentu tidak masuk ke dalam prioritas seperti ungkapan Wapres di atas. Akumulasi masalah lain juga terlihat, angka pengangguran terbuka Agustus 2012 pada kisaran 6,2 persen. Jumlah penganggur itu setara 7,24 juta orang.
Lima tahun sebelumnya angka itu masih pada kisaran sembilan persen. Sebuah hasil dari stabilnya laju pertumbuhan ekonomi Indonesia, diperkirakan dalam dua tahun ke depan pengangguran terbuka akan menurun. Di balik indikator pasar kerja demikian membaik, masih banyak indikator ikutannya. Jika angka pengangguran terbuka menurun, angka pekerja tidak tetap menunjukkan kenaikan, misalnya 16,7 persen pada 2009 menjadi 21,1 persen pada 2011.
Jadi secara implisit menurunnya angka pengangguran sebenarnya menaikkan jumlah pekerja yang tidak tetap. Kelompok ini tidak sama dengan buruh, kelompok ini masuk ke dalam pekerja inklusif. Kenapa daya serap ekonomi menggeser pola pemanfaatan tenaga kerja? Setidaknya beberapa argumentasi dapat dijelaskan. Pertama, tenaga kerja yang ada sekarang masuk dalam kategori tenaga kerja unskilled atau semi skilled labor.
Komposisi tenaga kerja tidak terampil ini diperlihatkan oleh struktur pendidikan angkatan kerja 49,3 persen hanya tamat sekolah dasar. Sesuai pandangan berbagai ahli ekonomi, karakter pasar kerja berpendidikan rendah ditandai dengan upah yang rendah. Akan tetapi, pada saat serikat pekerja semakin meningkat intensitas perjuangannya, muncul persoalan ikutan, yaitu akan semakin banyak tuntutan kenaikan upah.
Untuk yang terakhir ini tidak saja tuntutan upah yang semakin marak, namun juga semakin intensifnya tuntutan menjadikan buruh kontrak menjadi buruh permanen. Tarik menarik dari situasi pasar kerja demikian mesti akan semakin ramai pada masa yang akan datang.
Kedua, tidak meratanya daya tarik investasi antardaerah. Diketahui bahwa permintaan tenaga kerja murah sangat tinggi, setidaknya pada daerah-daerah kawasan industri, misalnya di sekitar Jabodetabek atau Gerbang Kertasila Jawa Timur.
Arah investasi selama ini masih tetap didominasi oleh industri yang berkembang pada kawasan-kawasan tersebut. Ini menghasilkan semakin tingginya mobilitas tenaga kerja.Daerah tujuan tenaga kerja kasar ditandai dengan tingkat pengangguran "impor" terbuka yang relatif tinggi. Kenyataan sebenarnya Indonesia butuh pemerataan investasi supaya perluasan lapangan kerja meluas sekaligus pemerataan hasil-hasil pembangunan terwujud.
Ketiga, kemajuan teknologi. Sebagian besar pertumbuhan ekonomi didorong oleh pertumbuhan sektor-sektor yang memiliki pekerja terampil yang relatif tinggi. Di antaranya dalam memenuhi tambahan pekerjaan pada sektor jasa dan manufaktur berteknologi tinggi. Permintaan akan tenaga kerja berketerampilan tinggi bahkan diisi oleh pekerja yang berasal dari tenaga kerja asing.
Keempat, dari sisi penawaran, dapat dipahami, sekalipun semakin tahun semakin banyak pencari kerja muda yang berpendidikan menengah dan tinggi, diperkirakan tamatan pendidikan tinggi juga tidak siap memasuki dunia kerja. Hasil olahan data Susenas menjelang 2010 menunjukkan bahwa angka pengangguran pencari kerja terdidik bahkan telah mencapai 20 sampai 40 persen, tergantung pada apa bidang dan jenis keilmuan yang dimiliki.
Perbaiki Sisi Suplai
Investasi sebenarnya adalah pendorong perluasan lapangan kerja. Makin tinggi investasi, semakin besar perluasan lapangan kerja. Namun, yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah bagaimana sisi penawaran semakin lama semakin berkualitas. Ada setidaknya tiga pendekatan yang perlu dilakukan untuk memenuhi target pekerja inklusif ini.
Pertama, mengintensifkan upaya untuk membekali tenaga kerja menjadi berketerampilan. Program pengembangan kelembagaan keterampilan menjadi sangat perlu pada masa yang akan datang. Tugas yang semestinya semakin banyak dilakukan oleh dinas tenaga kerja di daerah. Kedua, pemerintah semestinya tidak saja hanya fokus mendorong bagaimana upah minimum meningkat.
Pemerintah harus menjawab persoalan mengapa setiap kenaikan upah minimum semakin berkurang penggunaan tenaga kerja yang tidak terampil, karena pengusaha berusaha untuk melakukan substitusi tenaga kerja dengan teknologi. Elastisitas kenaikan upah ini dapat diperiksa dari hasil kajian sebelumnya yang besarnya sekira -0,1 persen. Setiap kenaikan 10 persen upah minimum dapat menurunkan penggunaan tenaga kerja sebesar satu persen.
Karenanya mesti dipelajari bagaimana membangun sistem penggunaan tenaga kerja, di antaranya perumahan, transportasi, dan asuransi. Dengan penataan komponen ini dapat menekan sisi komponen pengeluaran tenaga kerja. Ketiga, bagaimana memastikan informasi pasar kerja dapat diketahui secara luas oleh pencari kerja. Daron Acemoglu (Journal of Economic Literature, 2012) membuat simulasi bahwa semakin banyak peluang penawaran lapangan kerja akan dapat menurunkan pengangguran.
Ini terjadi di negara dengan pasar kerja yang umumnya formal. Pasar kerja formal, yang menghiasi pasar kerja domestik pada kisaran 40 persen, sebaiknya menjadi target pemerintah untuk ditingkatkan. Karena semakin besar proporsi angkatan kerja upahan, semakin stabil pula pasar kerja. Keempat, meningkatkan mutu penawaran dari tenaga kerja yang berada di luar sistem pasar kerja formal.
Selama ini pekerja informal masih belum banyak mendapatkan perhatian dan sentuhan. Dalam kasus seperti ini, setiap daerah memerlukan peta jalan yang jelas bagaimana meningkatkan keberadaan dari pasar kerja informal. Tanpa ini dilakukan, pengangguran terbuka sebenarnya menunggu efek negatif ikutannya
Pernyataan itu wajar saja, mengingat para undangan lebih banyak investor. Mereka pengguna pasar kerja formal. Penekanan kebijakan ini sebagai konsekuensi logis tuntutan buruh. Secara empiris buruh yang ikut anggota perserikatan relatif memiliki kesejahteraan lebih tinggi dari yang bukan anggota. Namun, yang disanksikan adalah kualitas dari tuntutan buruh yang mengarah pada ketidakstabilan proses kerja industri.
Struktur pasar kerja Indonesia memperlihatkan 40 persen tenaga kerja terikat dengan upah. Sisanya pekerja di luar sektor upahan, berupa self employed dan unpaid family worker. Kelompok pekerja tersebut tentu tidak masuk ke dalam prioritas seperti ungkapan Wapres di atas. Akumulasi masalah lain juga terlihat, angka pengangguran terbuka Agustus 2012 pada kisaran 6,2 persen. Jumlah penganggur itu setara 7,24 juta orang.
Lima tahun sebelumnya angka itu masih pada kisaran sembilan persen. Sebuah hasil dari stabilnya laju pertumbuhan ekonomi Indonesia, diperkirakan dalam dua tahun ke depan pengangguran terbuka akan menurun. Di balik indikator pasar kerja demikian membaik, masih banyak indikator ikutannya. Jika angka pengangguran terbuka menurun, angka pekerja tidak tetap menunjukkan kenaikan, misalnya 16,7 persen pada 2009 menjadi 21,1 persen pada 2011.
Jadi secara implisit menurunnya angka pengangguran sebenarnya menaikkan jumlah pekerja yang tidak tetap. Kelompok ini tidak sama dengan buruh, kelompok ini masuk ke dalam pekerja inklusif. Kenapa daya serap ekonomi menggeser pola pemanfaatan tenaga kerja? Setidaknya beberapa argumentasi dapat dijelaskan. Pertama, tenaga kerja yang ada sekarang masuk dalam kategori tenaga kerja unskilled atau semi skilled labor.
Komposisi tenaga kerja tidak terampil ini diperlihatkan oleh struktur pendidikan angkatan kerja 49,3 persen hanya tamat sekolah dasar. Sesuai pandangan berbagai ahli ekonomi, karakter pasar kerja berpendidikan rendah ditandai dengan upah yang rendah. Akan tetapi, pada saat serikat pekerja semakin meningkat intensitas perjuangannya, muncul persoalan ikutan, yaitu akan semakin banyak tuntutan kenaikan upah.
Untuk yang terakhir ini tidak saja tuntutan upah yang semakin marak, namun juga semakin intensifnya tuntutan menjadikan buruh kontrak menjadi buruh permanen. Tarik menarik dari situasi pasar kerja demikian mesti akan semakin ramai pada masa yang akan datang.
Kedua, tidak meratanya daya tarik investasi antardaerah. Diketahui bahwa permintaan tenaga kerja murah sangat tinggi, setidaknya pada daerah-daerah kawasan industri, misalnya di sekitar Jabodetabek atau Gerbang Kertasila Jawa Timur.
Arah investasi selama ini masih tetap didominasi oleh industri yang berkembang pada kawasan-kawasan tersebut. Ini menghasilkan semakin tingginya mobilitas tenaga kerja.Daerah tujuan tenaga kerja kasar ditandai dengan tingkat pengangguran "impor" terbuka yang relatif tinggi. Kenyataan sebenarnya Indonesia butuh pemerataan investasi supaya perluasan lapangan kerja meluas sekaligus pemerataan hasil-hasil pembangunan terwujud.
Ketiga, kemajuan teknologi. Sebagian besar pertumbuhan ekonomi didorong oleh pertumbuhan sektor-sektor yang memiliki pekerja terampil yang relatif tinggi. Di antaranya dalam memenuhi tambahan pekerjaan pada sektor jasa dan manufaktur berteknologi tinggi. Permintaan akan tenaga kerja berketerampilan tinggi bahkan diisi oleh pekerja yang berasal dari tenaga kerja asing.
Keempat, dari sisi penawaran, dapat dipahami, sekalipun semakin tahun semakin banyak pencari kerja muda yang berpendidikan menengah dan tinggi, diperkirakan tamatan pendidikan tinggi juga tidak siap memasuki dunia kerja. Hasil olahan data Susenas menjelang 2010 menunjukkan bahwa angka pengangguran pencari kerja terdidik bahkan telah mencapai 20 sampai 40 persen, tergantung pada apa bidang dan jenis keilmuan yang dimiliki.
Perbaiki Sisi Suplai
Investasi sebenarnya adalah pendorong perluasan lapangan kerja. Makin tinggi investasi, semakin besar perluasan lapangan kerja. Namun, yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah bagaimana sisi penawaran semakin lama semakin berkualitas. Ada setidaknya tiga pendekatan yang perlu dilakukan untuk memenuhi target pekerja inklusif ini.
Pertama, mengintensifkan upaya untuk membekali tenaga kerja menjadi berketerampilan. Program pengembangan kelembagaan keterampilan menjadi sangat perlu pada masa yang akan datang. Tugas yang semestinya semakin banyak dilakukan oleh dinas tenaga kerja di daerah. Kedua, pemerintah semestinya tidak saja hanya fokus mendorong bagaimana upah minimum meningkat.
Pemerintah harus menjawab persoalan mengapa setiap kenaikan upah minimum semakin berkurang penggunaan tenaga kerja yang tidak terampil, karena pengusaha berusaha untuk melakukan substitusi tenaga kerja dengan teknologi. Elastisitas kenaikan upah ini dapat diperiksa dari hasil kajian sebelumnya yang besarnya sekira -0,1 persen. Setiap kenaikan 10 persen upah minimum dapat menurunkan penggunaan tenaga kerja sebesar satu persen.
Karenanya mesti dipelajari bagaimana membangun sistem penggunaan tenaga kerja, di antaranya perumahan, transportasi, dan asuransi. Dengan penataan komponen ini dapat menekan sisi komponen pengeluaran tenaga kerja. Ketiga, bagaimana memastikan informasi pasar kerja dapat diketahui secara luas oleh pencari kerja. Daron Acemoglu (Journal of Economic Literature, 2012) membuat simulasi bahwa semakin banyak peluang penawaran lapangan kerja akan dapat menurunkan pengangguran.
Ini terjadi di negara dengan pasar kerja yang umumnya formal. Pasar kerja formal, yang menghiasi pasar kerja domestik pada kisaran 40 persen, sebaiknya menjadi target pemerintah untuk ditingkatkan. Karena semakin besar proporsi angkatan kerja upahan, semakin stabil pula pasar kerja. Keempat, meningkatkan mutu penawaran dari tenaga kerja yang berada di luar sistem pasar kerja formal.
Selama ini pekerja informal masih belum banyak mendapatkan perhatian dan sentuhan. Dalam kasus seperti ini, setiap daerah memerlukan peta jalan yang jelas bagaimana meningkatkan keberadaan dari pasar kerja informal. Tanpa ini dilakukan, pengangguran terbuka sebenarnya menunggu efek negatif ikutannya
Analisis
Saya tidak sepenuhnya setuju dengan apa yang
disampaikan di atas karena data tersebut seringkali berlainan dengan data-data
maupun fakta yang ada di lapangan. Jumlah pengangguran dari tahun ke tahun
terus bertambah jumlahnya karena keterbatasan lahan kerja dan jumlah angkatan
kerja yang semakin banyak jumlahnya. Masalah klasik ini mungkin bisa dikatakan
tidak akan terselesaikan bila tidak ada keseriusan dari pemerintah untuk terus memperluas investasi mereka maupun
bantuan pihak dari swasta untuk memperluas jumlah lapangan kerja yang tersedia.
Kualitas angkatan kerja juga harus semakin tinggi agar bisa mendongkrak
kemampuan mereka untuk bersaing di dunia kerja dan tentunya tidak menjadi
pengangguran yang tidak memiliki kemampuan apa-apa.
0 komentar:
Posting Komentar